BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
Maka dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu adanya Qishash bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi
Sebenarnya kalau hukum yang dibuat manusia belum sepenuhnya bisa mengikat, dan hal tersebut bisa direkayasa sekaligus bisa dilanggar, karena pada intinya hanya hukum Islam lah yang sangat cocok bagi kehidupan manusia di dunia. Hal ini terbukti dengan adanya hukum Islam banyak negara yang merasa cocok dengan berlakunya hukum Islam. Tapi ada satu hal yang masih menjadi pertanyaan apakah benar hukum islam itu sulit diterapkan dalam suatu tatanan kemasyarakatan atau itu hanya sebuah alasan dari segelintir orang yang tidak suka terhadap aturan tersebut.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash/Hudud “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.
BAB II
PEMBAHSAN
A. PENGERTIAN JINAYAT
Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja. Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau
melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.
Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau ta`zir.
Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :-
- Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama sendiri dan sebagainya
- Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh.
- Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian, ragut dan lain-lain.
- Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri.
- Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.
Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan, penganiayaan sengaja dan penganiayaan Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan keliru , penganiayaan sengaja dan penganiayaan salah.
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar'i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. "Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya." (an nisa': 93). Rosulullah SAW juga bersabda, " Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah".
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
Jarimah Ta'zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
B. FUNGSI DAN TUJUAN DITERAPKANNYA HUKUM
Tujuan diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (mengambil segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak dalam rangka menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
Ditinjau dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia, tujuan diterapkannya hukum terbagi menjadi lima, yaitu:
1. memelihara agama
2. memelihara jiwa
3. memelihara akal
4. memelihara keturunan dan kehormatan
5. memelihara harta
Sedangkan fungsi diterapkannya hukum adalah mencapai tujuan yang akan dituju.
C. MACAM-MACAM DAN BENTUK-BENTUK JINAYAT
1. Diyat (Denda)
Pengertian : denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.
Diyat ada dua macam, yaitu
a. Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.
b. Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima, yaitu 20 ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah dari Diyat ada tiga, yaitu:
a. mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga
b. obat pelipur lara korban
c. timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat
2. Kifarat
Pengertian : tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan Allah.
Macam-macam kifarat ada dua, yaitu:
a. Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
b. Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari
3. Hudud
Pengertian : sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul (jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a. Zina
b. Qadzaf (menuduh orang berbiat zina)
c. Minuman keras
d. Mencuri
5. Ta’zir
Pengertian : apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat. (hukuman yang tidak ditetapkan hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan).
D. Qishash
1. Qishash
Pengertian : hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan anggota badan sesorang, yang dilakukan dengan sengaja.
Dasar hukum : Al Baqarah : 178, An Nisa’ : 93 dan beberapa hadits
يا يهاالذينءامنوا كتب عليكم القصاص في قتل...(البقرة: 178)
Syarat-syarat Qishash :
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat
b. Pembunuh bukan orang tua dari orang yang dibunuh
c. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja
d. Orang yang dibunuh terpelihara darahnya
e. Orang yang dibunuh sama derajatnya
f. Qishash dilakukan dalam hal yang sama
2. Hikmah hukum Qishash
1. Memberikan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kejahatan terhadap manusia
2. Manusia akan merasa takut berbuat jahat pada orang lain
3. Qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia
4. Timbulnya ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat
E. Pengertian Qiyas
1. Secara bahasa
Qiyas berasal dari bahasa arab yaitu قياس yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.
2. Secara istilah
Pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Definisi lain dari qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya. Ibnu Subki mengemukakan dalam kitab Jam’u al-Jawami, qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut mujtahid yang menghubungkannya.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya. Ibnu Subki mengemukakan dalam kitab Jam’u al-Jawami, qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut mujtahid yang menghubungkannya.
Selain pengertian di atas, banyak lagi pengertian qiyas lainnya diantaranya menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara keduanya dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dalam al-Qur’an dan sunnah dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dalam al-Qur’an dan sunnah dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
F. Rukun dan Syarat Qiyas
Berdasarkan defenisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena illat serupa, maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu:
- al-Ashl.
Ashl adalah masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Qur’an ataupun Sunnah. Ia disebut pula dengan maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan) dan maha al-hukm ijal-musyabbah bihm yaitu wadah yang padanya terdapat hukum untuk disamakan dengan wadah yang lain.
Adapun syarat-syarat ashl adalah:
- Hukum ashl adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
- Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
- Ashl itu bukan merupakan furu’ dari ashl lainnya
- Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
- Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
- Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2.Furu’
Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).
Adapun syarat-syarat furu’ adalah:
- Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada furu’
- Hukum al-ashl tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas
- Tudak ada nash yang menjelaskan hukum furu’ yang ditentukan hukumnya
- Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu’
3. Hukum ashl
Illat yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu. Dengan persamaan inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’.
Adapun syarat-syarat hukum al-Ashl adalah:
- Illatnya sama pada illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya
- Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
- Hukum furu’ tidak mendahului hukum ashl
- Tidak ada nash atau ijam’ yang menjelaskan hukum furu’ itu.
4. Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut istilah, sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, illat adalah suatu sifat pada ashl yang mempunyai landasan adanya hukum .
Adapun cara untuk mengetahui illat adalah melalui dalil-dalil al-Qur’an atau Sunnah, baik yang tegas maupun yang tidak tegas, mengetahui illat melalui ijma’, dan melalui jalan ijtihad.
Adapun syarat-syarat illat adalah:
- Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak
- Illat harus kuat
- Harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi illat
- Sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas, tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu
- Tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil
G. Macam-Macam Qiyas
1. Dari segi kekuatan illat
- Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan illat pada furu’.
- Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illatnya sama
- Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Dari segi kejelasan illatnya
- Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashl
- Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
3. Dari segi keserasian illat dengan hukum
- Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang illat penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’
- Qiyas mulaim, qiyas yang illat hukum ashl dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4. Dari segi dijelaskan atau tidaknya illat dalam qiyas itu
- Qiyas ma’na, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashl itu sendiri
- Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashl.
- Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
· Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja
· Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh.
· Tujuan diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (mengambil segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak dalam rangka menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
· Pengertian : hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan anggota badan sesorang, yang dilakukan dengan sengaja.
· Qiyas berasal dari bahasa arab yaitu قياس yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.
B. Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengarapkan respon dari para teman – teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca lainnya.
Amin ya robbal a’lamiiin
DAFTAR PUSTAKA
· Subul as-Salam al-Mushilah ila Bulugh al-Maram, 7:231, tahqiq Muhammad Shubhi Hasan Halaf, Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, cetakan kedelapan, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.
· Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’: 14/5, Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.
· 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah)
0 komentar:
Posting Komentar