Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita? Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal. Demikian juga, dengan partisipasi/pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa memiliki mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggungjawab, dan peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan. Baik peningkatan otonomi sekolah, fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah maupun partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan dari pada MBS untuk saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.
B.     TUJUAN MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MPMBS bertujuan untuk:
Ø      Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia;
Ø      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
Ø      Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
Ø      Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.



Alasan Diterapkannya  MPMBS
MPMBS diterapkan karena beberapa alasan berikut:
Ø      Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
Ø      Dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
Ø      Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya  sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya;
Ø      Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik;
Ø      Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;
Ø      Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat;
Ø      Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
Ø      Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan;
  • Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.

C.     KONSEP DASAR MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
Seperti ditulis pada BAB I butir B, MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
D.    KARAKTERISTIK MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
MPMBS memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MPMBS, maka sejumlah karakteristik MPMBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MPMBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MPMBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian karakteristik MPMBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
1.      Output yang Diharapkan
Sekolah harus memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievement). Output prestasi akademik misalnya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/ divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.
2.      Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut:
a.      Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
b.      Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
c.       Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
d.      Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
e.       Sekolah Memiliki Budaya Mutu
f.        Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
g.      Sekolah Memiliki Kewenangan (Kemandirian)
h.      Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
i.        Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
j.         Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
k.       Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
l.         Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
m.     Memiliki Komunikasi yang Baik
n.       Sekolah Memiliki Akuntabilitas
o.      Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk enjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik alam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program ang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri.
3.      Input Pendidikan
a.      Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
b.      Sumberdaya Tersedia dan Siap
c.       Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
d.      Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
e.       Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
f.        Input Manajemen
E.     Fungsi-Fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Fungsi-fungsi apa sajakah yang perlu didesentralisasikan ke sekolah”? Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanaannya terutama PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah, Propinsi dan Kota/Kabupaten, harus digunakan sebagai referensi/patokan. Dengan demikian, pendesentralisasian fungsi-fungsi pendidikan tidak akan merubah peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, sampai saat ini belum ada resep yang pasti tentang hal ini, karena seperti kita ketahui, otonomi pendidikan sedang bergulir dan sedang mencari formatnya, sehingga secara peraturan perundang-undangan (legal aspect) belum dimiliki tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat ini. Sementara menunggu “legal aspect” yang akan diberlakukan kelak, fungsi-fungsi sekolah yang semula dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Dinas Pendidikan Propinsi/Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, sebagian dari fungsi dapat dilakukan oleh sekolah secara professional. Artinya, suatu fungsi tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya kesekolah, sebagian masih merupakan porsi kewenangan Pemerintah Pusat, sebagian porsi kewenangan Dinas Propinsi, sebagian porsi kewenangan Dinas Kota/Kabupaten, dan sebagian porsi lainnya yang dilimpahkan ke sekolah. Adapun fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat digarap oleh sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1) proses belajar mengajar, (2) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4)  pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan iklim sekolah.
1.      Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa. Yang dimaksud dengan pembelajaran berpusat pada siswa adalah pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu, cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan.
2.      Perencanaan dan Evaluasi
            Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu.
Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
3.      Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik.  Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan local.
4.      Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dsb.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
5.      Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
6.      Pengelolaan Keuangan.
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
7.      Pelayanan Siswa.
            Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
8.      Hubungan Sekolah-Masyarakat.
            Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
9.      Pengelolaan Iklim Sekolah.
            Iklim sekolah (fisik dan nonfisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
D. TERDIDIK BERDASARKAN IMTAQ
a. Visi
Kedua visi tersebut sama-sama benar sepanjang masih dalam koridor tujuan pendidikan nasional. Tentu saja, perumusan visi harus disesuaikan dengan tujuan dari setiap jenjang dan jenis sekolah sebagaimana dituliskan dalam peraturan pemerintah.
Visi yang pada umumnya dirumuskan dalam kalimat yang filosofis seperti contoh tersebut, seringkali memiliki aneka tafsir.  Setiap orang menafsirkan secara berbeda-beda, sehingga dapat menimbulkan perselisihan dalam implementasinya.  Bahkan jika terjadi penggantian kepala sekolah, maka kepala sekolah yang baru tidak jarang memberi tafsir yang berbeda dengan kepala sekolah sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan indikator sebagai penjelasan apa yang dimaksudkan oleh visi tersebut. Sebagai contoh, visi yang dituliskan UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMAN DAN TAQWA, diberi indikator sebagai berikut:
Ø      Unggul dalam perolehan NEM,
Ø       Unggul dalam persaingan melanjutkan ke jenjang pendidikan diatasnya,
Ø      Unggul dalam lomba karya ilmiah remaja,
Ø      Unggul dalam lomba kreativitas,
Ø      Unggul dalam lomba kesenian,
Ø      Unggul dalam lomba olahraga,
Ø       Unggul dalam disiplin,
Ø      Unggul dalam aktivitas keagamaan, dan
Ø      Unggul dalam kepedulian sosial.
b.       Misi
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
Misalnya, sebuah sekolah yang memiliki visi UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMTAQ  merumuskan misinya sebagai berikut:
Ø      Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga setiap siswa berkembang secara optimal, sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Ø      Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh warga sekolah.
Ø      Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya, sehingga dapat dikembangkan secara optimal.
Ø      Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan juga budaya bangsa sehingga menjadi sumber kearifan dalam betindak.
Ø      Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakeholders).
c.        Tujuan
Bertolak dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan. Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan” tujuan akan dicapai. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun.  Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah menuju visi yang telah dicanangkan.
Jika visi merupakan gambaran sekolah di masa depan secara utuh (ideal), maka tujuan yang ingin di capai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin belum se ideal visi atau belum selengkap visi.  Dengan kata lain, tujuan merupakan tahapan untuk mencapai visi.  Sebagai contoh, sebuah sekolah telah menetapkan visi dengan indikator sebanyak 9 aspek, tetapi tujuannya sampai tahun 2004 baru mencakup 5 aspek sebagai berikut:
Ø      Pada tahun 2004, gain score achievement (GSA) siswa meningkat  + 0,1
Ø      Pada tahun 2004, proporsi lulusan yang melanjutkan ke sekolah unggul minimal 40%
Ø      Pada tahun 2004, memiliki kelompok KIR dan mampu menjadi finalis LKIR tingkat nasional.
Ø      Pada tahun 2004, memiliki tim olahraga minimal 3 cabang dan mampu menjadi finalis tingkap propinsi.
Ø      Pada tahun 2004, memiliki tim kesenian yang mampu tampil pada acara setingkat kabupaten/kota.
d.      Sasaran/Tujuan Situasional
Setelah tujuan sekolah (tujuan jangka menengah) dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan sasaran/target/tujuan situasional/tujuan jangka pendek. Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan, baik peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa salah satu atau kombinasi). Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun dalam penentuan sasaran yang mana dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap harus didasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Ø      Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah
Ø      MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan
Ø      Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah

B.  Saran
  1. Sebagai seorang personal administrasi pendidikan berusahalah untuk belajar dan belajar lagi lebih giat dalam memahami dan mendalami administrasi sarana dan prasarana demi terwujudnya tujuan dari pendidikan nasional
  2. Agar kita tidak ketinggalan maka kita harus aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman supaya tidak gaptek ( gagap teknologi ) .



DAFTAR PUSTAKA


1.      Jamil,Arifin.2008.”Diktat Profesi Kependidikan”.Binjai:Budidaya
2.      Daryanto,Muhammad.2006.”Administrasi Pendidikan”.Jakarta:Rineka Cipta
3.      H.A.R Tilaar. 2008. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya
4.      uharsimi Arikunto dan Lia Yuliana. 2009. Manajemen Pendidikan. Jogjakara: Aditya Media
5.      Mulyasa. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
6.      Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta


0 komentar:

Posting Komentar

 

"Hafiez JM" © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers