makalah Ideogenesis


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Filsafat merupakan akar dari seluruh ilmu yang ada, dari hasil pemikiran-pemikiran filsafat itulah muncul teori-teori yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kelimuan dan teknologi di jagat raya ini.
Kita sudah begitu sering berfikir, rasa-rasanya berfikir begitu mudah. semenjak kita sudah biasa melakukannya. Setiap hari kita sudah berdialog dengan diri kita sendiri, berdialog dengan orang lain, bicara, menulis, membaca suatu uraian, mengkaji suatu tulisan, mendengarkan penjelasan-penjelasan dan mencoba menarik kesimpulan-kesimpulan dari hal-hal yang kita lihat dan kita dengar. Terus menerus seringkali hampir tidak kita sadari.
Namun bila kita selidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus dipraktekkan sungguh-sungguh ternyata bahwa berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir seksama dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak menyambung. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-kesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap segalanya yang tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan pribadi atau kelompok/ golongan.
Maka dari itu manusia telah dianugrahi indera mulai dari indera Kognitif dan indera intrensik dengan pembagian inilah manusia mampu mencerna dan mampu merespon segala aktivitas yang ada disekitarnya.

B.   Ruang Lingkup Masalah
Berdasarkan Latar belakang masalah diatas, maka dapatr dikemukakan ruang lingkup masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1.      Idiogenesis
2.      Proses abstraksi atau proses imaterialisasi
3.      Abstraksi total dan abstraksi social
4.      Abstraksi dan subtansi realitas
5.      Struktur Historikal Pengalaman
C.   Rumusan Masalah
Dari ruang lingkup masalah yang diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :
1.      Bagaimana Idiogenesis
2.      Bagaimana Proses abstraksi atau proses imaterialisasi
3.      Bagaimana Abstraksi total dan abstraksi social
4.      Bagaimana Abstraksi dan subtansi realitas
5.      Bagaimana Struktur Historikal Pengalaman
D.   Tujuan Pembahasan
Setiap adanya suatu pembahasan, tentunya ada maksud dan tujuan yang hendak dicapai demikian juga dengan halnya pembahasan ini, setidaknya ada beberapa hal yang merupakan tujuan, antara lain :
  1. Ingin mengetahui Bagaimana Idiogenesis
  2. Ingin mengetahui Bagaimana Proses abstraksi atau proses imaterialisasi
  3. Ingin mengetahui Bagaimana Abstraksi total dan abstraksi social
  4. Ingin mengetahui Bagaimana Abstraksi dan subtansi realitas
  5. Ingin mengetahui Bagaimana Struktur Historikal Pengalaman
E.   Manfaat pembahasan
secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya Ideogenesis dan Proses Abstraksi mulai dari Idiogenesis, Proses abstraksi atau proses imaterialisasi, Abstraksi total dan abstraksi social, Abstraksi dan subtansi realitas dan Struktur Historikal Pengalaman


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Idiogenesis
Manusia mempunyai dua macam kemampuan Kognitif (kemampuan mengerti) yang kurang lebih teramati (tidak gaib) dan dapat dirumuskan, yakni indera ke enam dan intelek. Indera merupakan kemampuan organis, artinya indera secara intrensik bergantung pada organ badani tertentu yang didalamnya dan dengannya indera bekerja selanjutnya indera dapat dibagi menjadi Indera ekstern (kelima Indera kita) dan Indera intern (ingatan, Imajenasi dan lain-lain).
Intelek adalah kemampuan inorganic, yakni kemampuan yang bergantung pada suatu organ badani. Indera terdiri atas bermacam-macam jenisnya sedangkan intelek hanya satu. Tetapi kemampuan intelek memiliki fungsi seperti menangkap, membuat konsep, membuat keputusan, melakukan refleksi, mengabstraksi, menyimpulkan dan sebagainya.
Manusia hanya memiliki pengetahuan yang sempurna dengan melalui keputusan, yaitu aksi intelek. Kegiatan indera hanyalah menangkap (dalam arti mengalami) tanpa membuat keputusan. Indera (sebagaimana juga intelek yang bukan tabula rasa merupakan kesadaran aktif, maka juga bekerja sesuai dengan lingkaran interpretasi yang kita kenal) mengumpulkan bahan mentah untk intelek guna kemudian digunakan oleh intelek menjadi keputusan.
Antara pengetahuan inderani dan pengetahuan dan intelektual terdapat perbedaan hakekat. Pengetahuan inderani menangkap kenyataan (ada khusus) secara matealiter, berdasarkan aspek konkrit dan materialnya, sedangkan intelek menjangkau kenyataan secara formal, formaliter. Dalam bentuk pengetahuan inderani yang kita miliki adalah gambaran-gambaran inderani, jadi jasmani sifatnya (maka hanya dapat dipakai untuk menunjukan satu realitas). Sedangkan
Agar terdapat pengetahuan Inderani, dibutuhkan adanya benda material yang ‘mengaplikasi’ indera, meresap sehingga menyentuh kemampuan mengerti. Hanya jika dan sejauh suatu benda bersentuhan dengan indera maka benda tersebut dapat dimengerti. Kemampuan mengerti indera yang bukan sekedar kemampuan material, tetapi merupakan kesatuan prinsif materian dan ketentuan-ketentuan psikis, mengalami suatu ‘kesan’ berkat kontaknya tadi. Disini hendaknya orang waspada bahwa ‘kesan’ tersebut bukanlah isi pengetahuan, bukan juga gambaran objek pengetahuan, tetapi sekedar skematisasi kenyataan individual hasil dialog. Berkat ‘kesan’ ini, kemampuan mengerti kita dibuat aktif. Maka muncullah apa yang disebut Simon : Operation precognitive, yakni suatu aktifitas yang mendahului pengetahuan, ‘kesan’ tadi pada hakekatnya masih bersifat materil, jasmani, maka juga belum sanggup mengerakkan intelek yang rohani sifatnya untuk beraktifitas.
Sekarang ‘kesan’ tersebut seudah diangkat dari materi, menjadi cakap, dan secara actual (In actu) dapat (sangup) diketahu, memasuki level of intelligibillty. Berkat aktifitas ini yang dapat istilah tekhnis disebut aprehensi sederhana psikologis munculah sepsis intelligibillis inpressa. sepsis intelligibillis inpressa tersebut, berkat aktifitas intelectus agens, ini bertindak sebagai pembantu (pengerak,kendeterminant) kemampuan tahu intelektual manusia, yakni intelektus possibillis. Sedangkan proses menyadari sepsis intelligibillis inpressa ini disebut aprehensi sederhana logis. Maka muculah konsep atau ide. Yang membuat kita tahu atau menangkap sesuatu disebut konsep mental, sedangkan apa yang kita tanggkap tentang objek yang disodorkan, konsep mental kepada akal budi, disebut konsep objektif.
Dibawah ini akan dibagankan moment-moment yang terjaid dalam pengetahuan indera dan pengetahuan intelektual :
Secara umum, proses pengetahuan mengenal dua moment, yakni moment asensif (momen meningkat) dari taraf indera ini ketarap intelektual, dan moment desensif (momen menurun) yakni kembali menyusun, menghubungakan diri dengan realitas konkret, kenyataan.
Dalam kaitan ini hendaknya diperhatikan bahwa ide atau konsep kita tidak hanya berasal dari abstraksi langsung dari data pengalaman. Pembentukan ide atau konsep juga dapat merupakan hasil dari repleksi, perbandingan, analisis, sintesis, atau keputusan pemikiran.
Kecuali itu, dalam pengetahuan intelektual tidaklah betul kalu dikatakan bahwa hanya sola konsep sebab dalam pengetahuan intelektual orang bicara tentang ada ( realitas ),  tetapi yang ditangkapnya melalui ide atau konsep


  1. Proses abstraksi atau proses imaterialisasi
Semua pengetahuan intelektual kita mempunya objek hal yang abstrak. Jiwa manusia adalah suatu kemampuan rohani, yang dihubungkan oleh kodrat dengan prinsif material dan bergantungan pada indera dalam mendapatkan pengetahuan. Sebagai sesuatu yang rohani hanya dapat mengunakan hal yang objeknya adalah rohani. Sesuatu yang semakin rohani semakin dapat diketahui; semakin bersih dari materi, semakin dapat mengetahui dengan lebih baik. Sehingga tarap pengetahuan juga ditentukan oleh tarap kebersihannya dari materi. Secara umum dapat ditemukan adanya tiga tarap kebersihannya dari materi, maka juga terdapat tiga tarap abstraksi yang sekaligu membagi pengetahuan manusia kedalam tiga golongan.
Yang pertama disebut tingkat abstraksi fisik dengan ini kita menangkap benda-benda dari dunia yang kita alami dan disidorkan kepada pengetahuan indera kita. Dari benda-benda material ini disingkarkan cirri-ciri individual dan konkret. Tetapi masih dibiarkan kualitas-kualitas material. Benda-benda yang ditangkap tersebut hanya dapat dalam kenyataan material, dalam pengertiannya masih tercakup kejasmanian, materialitas benda yang ditunjuk. Contohnya, Misalnya, kuda, mangga, suara, merah, dan lain-lain.
            Proses immaterialisasi selanjutnya meningkatkan, maka kesangupannya juga dapat diketahui meningkat dan abstraksi ini, disebut tarap abstraksi matematis. Disini konsep tidak hanya diangkat dari cirri-ciri individual dan konkret tetapi juga diangkat dari cirri-ciri inderani yang disebut kualitas. Yang dipertahankan adalah kuantitasnya dan yang kemudian dipandang kuantitas ini sejauh dapat diukur.
Tingkat abstraksi ketiga adalah metafisis. Dalam tarap abstraksi atau imaterialisasi ini, bukan hanya cirri-ciri individual dan konkret serta kualitas-kualitas inderani yang disingkirkan, tetapi juga kwantitas. Tangkapan kita sama sekali bersih dari kejasmanian, meskipun asal dan isinya tetap bergantung pada indera. Konsep-konsep hasil abstraksi ini yang menjadi bahan metafisika. Misalnya : sebab, hakikat, eksistensi, mengerti, kebenaran, keadilan dan sebagainya.




  1. Abstraksi total dan abstraksi social
            Mana kala pada tingkat pengalaman inderani hanya diperoleh suatu bentuk tahu yang bersifat absttraksi parsial atau formal (yakni seperti warna benda-benda, bentuk benda-benda, dan sebagainya), maka pada tingkat pengetahuan akali (verstandelijk) perlu dibedakan adanya dua bentuk abstraksi.
            Pertama abstraksi total atau abstraksi universal. Dalam kegiatan abstraksi ini kita mengabtrasi kan hal yang umum dari benda-benda individual atau benda-benda yang kurang umum misalnya jika kita mengabtraksikan hakikat benda-benda yang berada secara konkret dengan melewatkan atau mengabaikan cara keberadaanya yang konkret individual, (manusia-sokrates), atau mengabtrakkan katagori, tempat benda-benda tadi secara hakiki terbilang, dengan melewatkan atau mengabaikan cara keberadaan benda-benda tersebut yang bersifat spesifik (kedirian-manusia). Berkat kegiatan abstraksi tersebut, kita mengenali suatu keseluruhan (totu) yang memuat berbagai benda atau berbagai jenis benda. Tangkapan-tangkapan abstrak kita tersebut mempunyai suatu cirri umum atau universal. Berhubungan dengan kenyataan bahwa setiap ilmu mengunakan tangkapan - tangkapan (pengertian -pengertian) yang universal abtrak tersebut, maka abstraksi total atau universal dapat dipandang sebagai dasar ilmu.
            Abstraksi kedua adalah abstrasi parsial atau formal. Dalam abraksi ini, kita hanya mengabraksikan suatu bagian (pars), suatu cirri tertentu (Forma) dari benda-benda individual atau yang universal abstrak tersebut. Misalnya mengabstraksikan ke khasan tersebut (warna-jeruk), atau mengabraksikan suatu unsure hakiki, mengabaikan spesis dari benda-benda, yang dalamnya hal tersebut meruoakan suatu unsure (benda-manusia). Berkat kegiatan abstraksi ini kita mengenali benda-benda dalam bagian-bagiannya, menurut aspek yang berbeda-beda. Melalui hal ini, kita dapat memenuhkan konsep universal abstrak yang asli melalui kebhinnekaan konsep-konsep abstrak, dan disampai pada konsep yang tersusun dari hakikat mereka yang universal abstrak.
            Dari pemaparan ini jelaslah bahwa abtraksi parsial atau formal, yang dipakai untuk menghampiri benda-benda dari berbagai segi yang berbeda-beda, dapat dipandang sebagai dasar spesifikasi dari ilmu-ilmu yang masing-masing mempelajari suatu aspek tertentu dari benda-benda sebagai objek formalnya.
            Didalam logika, kedua bentuk abstraksi diatas senantiasa terpakai. Bahkan praktek pemikiran tidak mungkin terjadi tanpa kedua bentuk abstrak diatas

  1. Abstraksi dan subtansi realitas
            Abstraksi adalh kondisi manusia (maritain, popper). Didalam ilmu jelas bahwa abstraksi merupakan tuntutan mutlak. Tiada ilmu tanpa abstraksi. Bahkan dalam praksis ilmu semakin sesorang tidak sangup berfikir abstrak semakin sulit baginya menyelengarakan pemikiran ilmiah, lebih-lebih lagi memasuki tingkat abstraksi matematis dan filsafat.
            Yang merupakan hasil abstraksi dan hakekatnya merupakan subtansi realita, yakni hal yang tunggal bila mana bentuk atau sifat-sifat sesuatu telah disingkirkan (aristoteles, locke, deskartes). Tanggung jawab pemikirannya tidak hanya konsep-konsep terang dan jelas, tetapi juga selengkap – lengkapnya, sehingga subtansinya jelas terbahasakan dalam fikiran, dan ini isinya jelas, distinct dari tambahan-tambahannya.
            Agar subtansi realitas benar-benar terungkap kedalam konsep secara jitu, manusia yang sempat tahunya progresif harus mengamati dan meneropong benda-benda dari berbagai segi agar dapat memperoleh penegrtian yang lengkap tentang inti isinya.
            Didalam sejarah pemikiran, sokrates dan plato merupakan pemikir-pemikir pertama yang menerapkan cara kerja yang metodis terhadap hal diatas pertama benda-benda secara cermat dibandikan satu terhadap yang lain, kemudian ditentukan persamaan serta perbedaannya. Langkah kedua membaginya secara sistematis.
            Diabad kita ini Edmund Husserl (1859-1938) menginstroduksikan suatu metode baru, yakni metode fenomenollogis yang penerapannya secara progresif berlangsung terus secara ketat ilmiah sehingga hakikat sesuatu menjadi terang dan jelas bagi intelek (akal budi) kita.
            Metode ini tidak mau puas dan berhenti pada ‘baju-baju’, ‘bungkus-bungkus’ realitas/kenyataan yang berasal dari (semua bentu) tradisi. ‘baju-baju’ yang berupa angka, paham, teori-teori dilampaui, ditembus dengan menerapkan berbagai ‘reduksi’.

  1. Struktur Historikal Pengalaman
            Manusia tidak berada dalam waktu, tetapi secara ontologism manusia adalah mewaktu, historical (geschichatlich). Manusia de facto tidak dapat ada tanpa menjadi bagian dan sejarah. Maka pengalaman manusia tidak berpatah-patah dalam moment-moment ‘masa kini’, melainkan berstruktur historical.
            Masalah historitalitas umumnya juga tidak dimengerti lagi karena meluasnya pengertian yang salah tentang waktu dan sejarah. Communis opinion mengartikan waktu sebagai suatu konsepsi matematis, dilambangkan dengan huruf t (time scientific time), diukur dengan jam dan kronometer. Berhubung alat-alat ukur tersebut berupa benda-benda yang berada dalam ruang, maka waktu digambarkan suatu medium homogen yang merentang dan terdiri dari satuan-satuan pembakuan, misalnya tahun, jam, menit, detik. Sedangkan tentang  sejarah, sering kali orang mengartikan sebagai “hal yang sudah lewat”, ‘sudah selesai’, ‘masa lalu’, vergangenhaid.
            Pengalaman kita memang terjadi kini. Tetapi ‘kini’ tersebt mencakup masa lalu yang tidak terbatas dan masa datang yang terbuka lebar. Setiap ‘kini’ mengenggam yang sudah melalui dan sekaligus menunjukan masa depan yang masih akan datang. Dalam bahasa husserl setiap saat beretensi (atau be-raktifitasi) dan berprotensi, yakni mengenggam masa lalu dan menjangkau masa datang. Retensi tidaklah mengingat ingat yang sudah silam dan kini tiada, tetapi juga menjukan keterarahan yang dulu itu menunjukan keterarahan ini, was gewesen ist (haidegger). Masa lalu hadir kemasa kini. Secara prinsif, masa lalu berkaitan erat dengan masa kini. Demikian pula halnya dengan masa datang. Keterarahan kini menuju keterarahan yang akan datang tidaklah merupakan sesuatu yang berada diluar yang kini. Masa kini mengandaikan masa lalu dan masa datang. Pengalaman menunjukan bahwa masa datang, sebagaimana masa lalu, secara actual hadir dimasa kini. Masa lalu dan masa datang tersebut secara nyata ikut menentukan yang kini dikerjakan. Demikianlah sesungguhnya masa lalu dan masa datang bukanlah data yang dapat diobjektifikasi dimasa kini.



            Secara ringkas dapat digariskan bahwa historikalitas :
  • Bukan gabungan atau rentetan masa lalu, masa kini dan masa datang
  • Bukan hasil kesadaran akan masa lalu yang begitu saja telah melalui, suka tidak suka pantang kembali.
  • Bukan kesadaran yang adanya mutlak dan manusia merupakan ada yang tidak selalu ada jadi dapat tiada.
  • Bukan hasil kesadaran akan kenyataan yang serba mengalir, fana.
  • Bukan akibat hokum evolusi. Tetapi historikalitas adalah :
Ø      Hakikat manusia yang menjunjukan kenyataaan bahwa manusia tidak dapat direduksi menjadi atau disamakan dengan benda alami, maka,
Ø      Pengalamanya juga tidak statis, melainkan merupakan suatu perjumpaan, suatu dealogi yang tidak habis-habisnya dengan suatu dunia yang nampak pada kita sebagai
Ø      Suatu cakrawala yang membuaka ferspektif –ferpektif yang tidak terbatas jumlahnya, dan hal ini pula yang memungkinkan terjadinya intersubjektifitas dari berbagai kesadaran yang berbeda-beda
Ø      Menurunjuk kenyataan bahwa persepsi tidak pernah dapat disederhanakan menjadi kehadiran secara sadara pada bermacam ragam hal yang menjadi kesan inderani yang saling tidak berhubungan, karena yang riel senantiasa mengartikan yang lain, saling menjelaskan.
Ø      Secara fundamental menunjukan kenyataan bahwa kebenaran secara ontologism, bagaimana pun juga, adalah suatu peristiwa (geschehen), maka kebenaran suatu proses, terbatas, tidak lengkap, dan sementara, maka juga tidak pernah dapat defenitif, tidak pernah merupakan kata akhir. Kebenaran yang lebih benar elalu mungkin terngkap terus.
           
           







BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

·  Manusia mempunyai dua macam kemampuan Kognitif (kemampuan mengerti) yang kurang lebih teramati (tidak gaib) dan dapat dirumuskan, yakni indera ke enam dan intelek. Indera merupakan kemampuan organis, artinya indera secara intrensik bergantung pada organ badani tertentu yang didalamnya dan dengannya indera bekerja selanjutnya indera dapat dibagi menjadi Indera ekstern (kelima Indera kita) dan Indera intern (ingatan, Imajenasi dan lain-lain).

B.     Saran

Semoga dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengarapkan respon dari para teman – teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca lainnya.
Amin ya robbal a’lamiiin

















DAFTAR PUSTAKA

  1. Dr. W. Poespoprodjo, 2007 Logika Saintifika Pengantar Dialektika Dan Ilmul, Pustaka Drafika,Bandung.
  2.  

0 komentar:

Posting Komentar

 

"Hafiez JM" © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers