makalah pembinaan Nafsu Rendah


BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana ilmu yang lain, tasawufpun mempunyai objek atau lapangan dan sasaran pembahasannya sendiri. Yang menjadi objek pembahasan tasawuf  ialah  jiwa manusia. Tasawuf  membahas tentang sikap jiwa manusia dalam berhubungan dengan Allah dan sikapnya dalam berhubungan dengan sesama makhluk. Dalam hal ini tasawuf  ingin membersihkan hati itu dari sifat-sifat buruk dan tercela dalam rangka hubungan tersebut. Bila hati sudah suci dan bersih dari noda kotoran, niscaya akan baiklah kehidupan manusia itu, seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpal darah, bila segumpal darah itu baik, baiklah tubuh seluruhnya dan apabila segumpal darah itu buruk, buruk pulalah tubuh seluruhnya. Segumpal darah itu ialah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
­­­­­­­­­­­­­­Al Ghazali menyatakan bahwa dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan, yakni qalb, ruh, nafs, dan akal. Keempat unsur ini ditinjau oleh al Ghazali secara pisik dan psikis. Mengenai pendapat tentang hati dan jiwa menurut pandangan para sufi akan dibahas dalam makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN

A.   PEMBINAAN NAFSU RENDAH

Secara etimologi nafs adalah,
1) Esensi
2) Hakekat sesuatu
3) Substansi
            Nafs secara etimologis adalah essensi dan hakikat sesuatu. Namun dalam bahasa sehari-hari dipakai untuk menunjukkan kepada banyak pengertian yang saling berlawanan. Para sufi sepakat bahwa nafs adalah sumber dan prinsip kejahatan, tetapi sebagian mengatakan bahwa nafs adalah substansi yang berada di dalam badan. Yang lain mengatakan, ia sebagai atribut (sifat) badan. Namun mereka semua sepakat bahwa melalui nafs, kualitas-kualitas rendah dijelmakan dan bahwa ia adalah sebab langsung dari tindakan-tindakan tak terpuji. Ketundukan kepada nafs syahwiyyah (jiwa rendah) menyebabkan kebinasaan dirinya, dan penguasa atas jiwa rendah ini akan melahirkan keselamatan hidup[1].
            Lebih jauh al-Hujwiri menjelaskan keadaan jiwa rendah (nafs): “Tabir (hijab) yag paling dahsyat ialah jiwa rendah dan ajakan-ajakannya”, mengikutinya berarti ketidaktaatan kepada Tuhan, yang menjadi hijab antara dia dengan Dia”. Sebenarnya yang menjadi hijab itu bukan nafsnya, akan tetapi perilakunya yang berupa kemaksiatan. Bagi al-Ghazali, hati adalah kebaikan cermin. Bisa mengkilap dan bisa hitam pekat, karena prbuatan yang dilakukannya. Seperti dalam QS. al-Muthaffifin: 14[2].
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

            Lebih lanjut al-Hujwiri menjelskan keadaan jiwa rendah, bahwa ia adalah “Sifat yang tidak pernah tenang kcuali dalam kebathilan, yakni selamanya tidak pernh mencari jalan kebenaran”. “Seseorang tidak mungkin mengenal Tuhan, selama dia tetap kekal dengan jiwa rendahnya, karena ia tak mampu mengenal dirinya, apalagi terhadap yang lain”. untuk menekan sifat nafs yang demikian itu, maka upaya pembinaannya adalah dengan menjalankan ibadah dan mujahadah, yang diharapkan manusia dapat menemukan Tuhan atau jalan menuju kepada Tuhannya.
Nafsu adalah sumber dan prinsip kejahatan[3].
Untuk mengendalikan nafs dilakukan dengan mujahadah dan riyadhah (prihatin).
Tahapan-tahapan menghilangkan nafs:
1.      Takhalli (membersihkan dari sifat-sifat tercela)
2.      Tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji)
3.      Tajalli (menerima pemberian Tuhan setelah berusaha)
Maka dari itu hendaknya kita semuanya saling menjaga dan memperhatikan prilaku kita semuanya, agar kita semua bisa menjaga nafsu kita agar tidak masuk kejalan yang salah, karena semua penentuannya ada pada diri kita, sekarang kita lakukan nanti kita akan dimintai pertangung jawaban, kita akan diadili oleh hakim yang maha bijaksana, disanalah kita akan menuai hasil dari apa yang telah kita tanam selama ini, ketika kita hidup di dunia, maka dari itu kalau kita semua ingin selamat dari azabnya, kita harus melakukan apa yang telah Allah SWT. Perintahkan kepada kita dan kita juga harus meninggalkan semua yang Allah Larang, dan untuk membina nafsu nafsu kita agar tidak salah dalam melangkah adalah :
1.      Hati
Hati dalam bahasa arabnya disebut “ qalb”. Menurut ilmu biologi qalbu adalah segumpal darah yang terletak di dalam rongga dada, agak sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segi tiga.[4] Hati  (materi) menjadi objek pembahasan Biologi, sedangkan hati (immateri) menjadi objek bahasan ilmu tasawuf.
 Tentang hati yang imateri ini dikatakan oleh imam Al-Ghozali di dalam kitab Ihya Ulumiddin : “yakni suatu kurnia Tuhan yang halus dan indah bersifat immateri, yang ada hubungannya dengan hati materi. Yang halus dan indah itulah yang menjadi hakekat kemanusiaan dan yang mengenal dan mengetahui segala sesuatu, hati juga yang menjadi sasaran perintah, sasaran cela, sasaran hukuman dan tuntutan dari Tuhan. Ia mempunyai hubungan dengan materi. Hubungan ini sangat menakjubkan akal tentang caranya. Perhubungan ini penaka hubungan gaya dengan jizim dan hubungan sifat dengan tempat lekatnya atau seperti hubungan pemakai alat dengan alatnya, atau bagai hubungan benda dengan ruang.”[5]
Hati adalah hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, pengetahuan dan arif, yaitu manusia yang menjadi sasaran dari segala perintah dan larangan Tuhan, yang akan disiksa, dicela dan dituntut segala amal perbuatannya.
Abdul Qasim Al-Qusyairy dalam membicarakan tentang alat mema’rifati Tuhan membagi alat itu menjadi tiga:[6]
1.      Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan
2.      Ruh untuk mencintai Tuhan
3.      Sir untuk melihat Tuhan
Sir lebih halus dari ruh. Ruh lebih halus dari qalb. Al-Ghozali membedakan antara Nafs, ruh, hati, dan akal. Nafs mempunyai dua arti. Pertama ialah himpunan kekuatan marah dan syahwat dalam diri insan. Kedua ialah sesuatu yang indah dan halus yang menjadi hakikat manusia.
Ruh juga mempunyai dua arti. Pertama sejenis barang halus yang bersumber dari ruang hati meteri dan tersebar melalui syaraf keseluruh tubuh. Mengalirnya didalam tubuh sambil melancarkan cahaya kehidupan, dan memberikan indera pandangan, pendengaran, penciuman, perabaan dan persaan lidah artinya kedua ialah bahwa ruh itu merupakan suatu yang ghaib.
Akal mempunyai dua arti. Pertama ialah yang digunakan dengan arti ilmu tentang hakikat suatu hal. Arti kedua ialah suatu alat untuk mengetahui ilmu tadi yakni sama dengan pengertian hati immateri.
Selain arti diatas ada sebagian para sufi yang membagi hati menjadi hati sanubari dan nurani bersifat immateri.
Pembicaraan tentang masalah hati banyak menyangkut ilmu jiwa (psychology). Psycholog-psycholog modern pun banyak membicarakan masalah jiwa (ruh) ini. Namun kalau kita selidiki secara mendalam, ternyata tidak satu pun definisi yang mencapai pengertian tentang hakekah jiwa (ruh) itu yang sebenarnya. Firman allah Q.S Al-Isra’ : 85[7]
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً {85}
“katakanlah (ya Muhammad) soal ruh itu adalah termasuk Tuhanku.”
Ruh yang halus dan indah itu langsung datang dari Tuhan tanpa melalui proses seperti kejadian tubuh. Ia langsung menempati tubuh yang telah dibentuk lebih dahulu didalam rahim ibu. Setelah tubuh itu melalui proses kejadiannya dalam waktu tertentu.
Ruh adalah unsur  penting dalam diri manusia, sebab kalau tanpa ruh manusia tidak akan ada. Mayat yang sudah tidak punya ruhnya lagi tidak akan bisa menjalankan fungsinya seperti kita yang masih hidup. Hati adalah gejala dari ruh. Ia mempunyai dua kekuatan yaitu:
a.   Kekuatan nafsu amarah
Kekuatan nafsu amarah mendorong manusia untuk berbuat jahat. Dia menerima bisikan-bisikan halus dari syetan dan iblis. Kekuatan nafsu amarah ini yang harus dihadapi oleh manusia dalam setiap saat. Raulullah menerangkan bahwa perjuangan melawan nafsu (amarah) adalah jihat yang besar.
b.  Kekuatan nafsu muthmainnah
Suatu daya yang selalu ingin membawa manusia menuju kesempurnaan jiwa dan kebersihannya yang hakiki. Nafsu muthmainnah inilah yang menampung ilham dari Tuhan dan bisikan-bisikan halus dari malaikat.

Kalau manusia lebih takhluk kepada kehendak tubuh lahir yang bersifat hawaniyah dan suka tunduk kepada kehendak syetan, maka napsu muhmainnah lebih cenderung untuk menuruti bisikan Malaikat dan ilham Tuhan. Dua daya inilah yang menjadi  manifestasi adanya hati itu sendiri menjadi tanda gaib bahwa manusia mempunyai ruh (jiwa) yang amat ghaib bagi ilmu manusia.

2.      Jiwa
Jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Itulah kekayaan sejati.
            Dalam diri manusia terjadi tarik menarik antara unsure yang mengajak ke arah positif, yaitu roh yang mempunyai sikap rasional, dan unsur lain berupa nafs (jiwa rendah) yang cendrung ke hal-hal yang bersifat negatif. Posisi manusia akan ditentukan unsur mana yang menang dalam percaturan setiap harinya. Jika sifat ruhnya yang menang, maka dia lebih menyerupai malaikat, namun apabila yang dominan itu nafsunya, maka akan lebih menyerupai sifat kebinatangan. Seperti dalam QS. At-Tin: 4-6[8].
 لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ فيِ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ {4} ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ {5} إِلاَّالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ {6} .
“4. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. 5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), 6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” Asbabun nuzul
            Lebih jauh dari apa yang dikemukakan oleh al-Tastari tersebut, al-Ghazali menyatakan bahwa dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan, yakni qalb, ruh, nafs dan akal. Keempat unsur ini ditinjau oleh al-Ghazali secara pisik dan psikis.[9] 
Nafs ialah kekuatan yang menghimpun sifat-sifat tercela pada manusia, yang harus dilawan dan diperangi. Sabda Nabi saw: “Musuhmu yang paling besar ialah nafsumu yang berada di antara dua lambungmu” .[10] Sedang pengertian kedua ialah hakikat manusia yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ia disifati dengan berbagai sifat sesuai dengan keadaannya. Apabila tenang dan jauh dari kegoncangan, yang menentang nafsu syahwatiyah, maka disebut nafsu muthma-innah. Sesuai dengan QS.al-Fajr: 27-30.
Hai jiwa yang tenang.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
27
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya.
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
28
Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku,
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
29
dan masuklah ke dalam surga-Ku.
وَادْخُلِي جَنَّتِي
30

Apabila keadaannya kurang sempurna ketenangannya, akan tetapi dia mencela dan menegur kepada dirinya sendiri manakala teledor untuk berbuat tidak baik, maka disebut nafsu lawwamah. Seperti dalam QS.al-Qiyamah: 2. Kemudian apabila nafsu tunduk dan patuh terhadap nafsu syahwat dan panggilan setan, maka dinamakan nafsu amarah, yang mengajak pada kejahatan. Seperti dalam QS. Yusuf: 53.[11]

3. Penyucian Hati
Untuk mensucikan hati haruslah ia bebani dengan amal-amal ibadah, dzikir, tasbih, tahlil dan sebagainya. Sesuai dengan cara yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadis. Disamping ibadah yang merupakan inti hubungan manusia dengan Tuhan, hati juga dibebani dengan akhlak-akhlak yang terpuji dan dikosongkan dia dari perangai-perangai bejat. Aktivitas pensucian hati inilah yang disebut dengan “riyadhah” di dalam ilmu tasawuf.[12]
Bila hati mengamalkan segala bentuk ibadah, baik yang wajib maupun sunnat dan dikerjakan dengan penuh khusyuk dan ikhlas dan serta menetapi perangai-perangai yang terpuji dan menjadi perangai-perangai yang tercela niscaya berhaklah ia menerima ridha ilahi seperti dalam Q.S Al-Fajr 27-30[13]
 يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ {27} ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً {28} فَادْخُلِي فيِ عِبَادِي {29} وَادْخُلِي جَنَّتِي {30}
wahai nafsu muthmainnah kembalilah dikau kepada Tuhanmu dalam ridha dan diridhai. Masuklah dikau kedalam golongan hamba-hamba-Ku masuklah dikau kedalam Jannah-Ku”
Dan dalam hadis ; bahwasanya pernah ditanyakan : Ya Rasulullah ! Siapakah orang yang terbaik itu? Jwab Nabi : semua orang mukmin yang bersih hatinya. Maka ditanyakan lagi : Apa arti orang bersih hati itu? Nabi menjawab : ialah orang yang takwa, suci, tidak ada kepalsuan padanya, tak ada kedzaliman, dendam, khianat dan dengki.
Dalam QS. Asy-Syams :9-10[14]
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
9
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
10

Cara yang dapat dilakukan dalam membersihkan hati dan jiwa adalah sebagai berikut:
1.  Membersihkan jiwa  dari pengaruh materi Bahwasannya kebutuhan manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja, tetapi dia mempunyai batin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhannya pula.
2.  Menerangi jiwa dari kegelapan Jauhkanlah korupsi, perampokan, pungutan liar, pelacuran dan seribu satu macam maksiat lainnya.Semua kejadian ini tidak lain terpengaruh nafsu amrah yang senantiasa menyeret manusia kedalam jurang kehancuran.satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia dari godaan-godaan materi yang menyebabkan orang menjadi materialistic ialah dengan membersihkan jiwanya, dengan mempelajari agama.[15]
B. INSAN KAMIL
1.      Pengertian Insan Kamil
Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi.
·        Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365 – 1428)
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.       Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.      Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
2.      Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:[16]
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer. Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia.[17]
Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)[18]
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orangmengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16) [19]
Firman Allah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al Ahzab: 45-47).[20]
· Martabat Ahdiyah
Segala sifat dan asma lahir pada martabat ahdiyah. Namun sifat dan asma menjadi binasa di dalam zat wajibul wujud. Martabat ahdiyah juga disebut martabat kunhi zatullah. Ia merupakan puncak segala martabat. Tak ada martabat di atasnya setelah martabat ahdiyah.
· Martabat Wahdah
Pada martabat wahdah, lahir segala sifat dan asma secara ijmal atau terhimpun utuh. Martabat ini disebut sebagai hakikat Muhammad dan menjadi asal dari segala yang hidup dan maujud.
Muhammad dipahami sebagai hawiyatul ‘alam atau hakikat alam dan segala sesuatu sebagaimana hadis yang bersumber dari Jabir ra.
“Awal mula yang dijadikan Allah Ta’ala itu adalah cahaya Nabimu hai Jabir. Kemudian dijadikan dari padanya segala sesuatu. Sedangkan dirimu merupakan salah satu dari sesuatu itu.”
· Martabat Wahdiyah
Martabat wahdiyah merupakan tempat lahir segala sifat dan asma dengan tafsil bahwa sesuatu yang ada pada martabat wahdah terurai sifat dan asma yang masih mujmal pada martabat wahdah. Pada martabat ini terjadi prosesi khitab dari kalam qadim kepada alam sifat dan asma.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaahaa: 14) [21]
· Martabat Alam Arwah
Martabat alam arwah adalah hakikat semua ruh yang lahir dan menjadi kenyataan semua yang ada pada martabat ahdiyah, wahdah dan wahdiyah. Martabat ini disebut juga dengan nama Hakikat Muhammad atau Muhammad Hakiki.
· Martabat Alam Mitsal
Ini adalah alam yang secara realitas bersifat abstrak dan sangat halus sehingga tidak dapat dibagi secara material. Asal muasal segala sesuatu yang halus tanpa menerima bahagian jasadi diciptakan pada martabat alam mitsal. Dalam Al Quran alam mitsal disebut dengan alam gaib, sebuah alam yang kondisinya tidak dapat dilihat secara kasat mata seperti surga, neraka dan termasuk alam jin.
· Martabat Alam Ajsam
Adalah martabat tempat dari segala sesuatu dijadikan berupa fisik dalam wujud jasmani yang kasar dan menerima bahagian. Martabat ini juga disebut alam syahadat, atau alam penyaksian. Kondisinya tersusun dari beberapa unsur material seperti api, angin, tanah, air dan lainnya dan menjadikan segala sesuatu yang ada pada alam ini, dalam proses harus melalui ekosistem. Martabat ini juga disebut martabat alam ajsad sehingga segala sesuatu apapun dapat disaksikan dengan mata lahiriah karena telah menjadi fisik materi.
· Martabat Alam Insan
Martabat alam insan atau insan kamil adalah martabat yang menghimpunkan segala martabat ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam. Orang yang berhasil mencapai proses tahapan spiritual dengan melewati enam martabat tersebut disebut insan kamil (manusia yang sempurna). Martabat ahdiyah, wahdah dan wahdiyah adalah tiga martabat alam qadim. Tiga martabat lainnya merupakan martabat huduts.
Martabat alam insan menjadi gelar dan disandang oleh orang-orang yang telah mencapai puncak perjalanan rohani, sebagaimana yang dicapai oleh Nabi Muhammad SAW dengan semua gelar dari Allah termasuk gelar khuluqin ‘azhim (akhlak yang agung).
Rasulullah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan:
“Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad).
Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya sebagai insan kamil.
  1. Kriteria atau ciri – ciri Insan Kamil
a. Sifat – sifat manusia sempurna

Ø      Keimanan
Ø      Ketaqwaan
Ø      Keadaban
Ø      Keilmuan
Ø      Kemahiran
Ø      Ketertiban
Ø      Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran
Ø      Persaudaraan
Ø      Persepakatan dalam hidup
Ø      Perpaduan dalam umah

Sifat – sifat inilah yang menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam dunia dan hasanah dalam akhirat[22].
Cara-cara mencapainya ialah dengan :
Ø      Ilmu taubat dengan syarat – syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
Ø      Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
Ø      Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
Ø      Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat menyelamatkan diri daripada kelesuan.
Ø      Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran, al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi Allah SWT.







BABA III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hati adalah hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, pengetahuan dan arif, yaitu manusia yang menjadi sasaran dari segala perintah dan larangan Tuhan, yang akan disiksa, dicela dan dituntut segala amal perbuatannya.
Jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Itulah kekayaan sejati. Al-Ghazali menyatakan bahwa dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan, yakni qalb, ruh, nafs dan akal. Keempat unsur ini ditinjau oleh al-Ghazali secara pisik dan psikis.
Untuk mensucikan hati haruslah ia bebani dengan amal-amal ibadah, dzikir, tasbih, tahlil dan sebagainya. Sesuai dengan cara yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadis.
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
B. Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengarapkan respon dari para teman – teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca lainnya.
Amin ya robbal a’lamiiin




DAFTAR PUSTAKA
1.  Ali, Yunasril. 1987. Pengantar Ilmu Tasawuf. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta.
2.  Ghazali, Imam. 1982. Keajaiban Hati. Tintamas Indonesia: Jakarta.
3.  Hamka. 1987. Tasawuf Modern. Pustaka Panjimas: Jakarta
4.  Helminski, Kabir. 2005. Meditasi Hati Transformasi Sufistik. Pustaka Hidayah: Bandung.
5.  Khan,Sahib Khaja Khan. 1996. Tasawuf Apa dan Bagaimana. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
6.  Zahri, Mustafa. 1976. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. PT Bina Ilmu: Surabaya.
7.   15. Ghazali, Imam. 1982. Menjadi Insan kamil. Tintamas Indonesia: Jakarta.
8.  Zainuddin, Usman 2001. Insan Kamil Yang sempurna. PT Bina Imu : Bandung




[1] Ali, Yunasril. 1987. Pengantar Ilmu Tasawuf. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta. Hal 140.
[2] QS. Al-Muthaffifin: ayat 14.
[3] Ghazali, Imam. 1982. Keajaiban Hati. Tintamas Indonesia: Jakarta. Hal 63
[4] Ali, Yunasril. 1987. Pengantar Ilmu Tasawuf. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta. Hal 44.

5. Zahri, Mustafa. 1976. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. PT Bina Ilmu: Surabaya. Hal 77
6. Helminski, Kabir. 2005. Meditasi Hati Transformasi Sufistik. Pustaka Hidayah: Bandung. Hal 444
[7].  Q.S Al-Isra’ : 85
[8] QS. At-Tin Ayat  4 - 6
9. Helminski, Kabir. 2005. Meditasi Hati Transformasi Sufistik. Pustaka Hidayah: Bandung. Hal 104
10. Helminski, Kabir. 2005. Meditasi Hati Transformasi Sufistik. Pustaka Hidayah: Bandung. Hal 108

[11]. QS. Yusuf Ayat 53
12. Hamka. 1987. Tasawuf Modern. Pustaka Panjimas: Jakarta hal 201.

[13] Q.S Al-Fajr Ayat 27 – 30
[14] QS. Asy-Syams Ayat  9 - 10
15. Ghazali, Imam. 1982. Menjadi Insan kamil. Tintamas Indonesia: Jakarta. Hal. 151
[16] Q.S. Al- AhdzabAyat 21
[17] Zainuddin, Usman 2001. Insan Kamil Yang sempurna. PT Bina Imu : Bandung
[18] QS. Al-Qolam  Ayat 4
[19]. Al Maidah Ayat 15-16
[20] (Al Ahzab: 45-47)
[21] QS. Thaahaa:  Ayat 14
[22] Zainuddin, Usman 2001. Insan Kamil Yang sempurna. PT Bina Imu : Bandung. Hal 201

0 komentar:

Posting Komentar

 

"Hafiez JM" © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers