makalah Muamalat, Jual Beli, Hutang Piutang, Riba


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaiki-baiknya.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh krena itu, pada makalah ini akan memebahas tentang jual- beli, utang piutang, agar para penbaca tidak masuk dalam jurang riba.

B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka pada makalah ini dapat merumuskan Rumusan Masalah sebagai berikut:

A. Apa Jual Beli Itu . . .?
B. Apa Hutang Piutang Itu. .?
C. Apa  Riba. . ?






BAB II
PEMBAHASAN

MUAMALAT JUAL BELI, HUTANG PIUTANG, RIBA

A.  Jual Beli
1.      Pengertian Jual Beli

Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (menukarkan). Dan kata Al-Bai’ (jual) dan Asy-Syiraa (beli), dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang sau sama lain bertolak belakang.
Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (agar tebedakan dengan jual beli terlarang). Sedangkan dalam buku ‘Fiqih Islam’ pada bab Kitab Muamalat, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).
Orang yang terjun ke dunia usaha,berkewajiban mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak. Hal ini dimaksudkan agar muamalat berjalan sah dan segala sikap atau tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan.
Firman Allah SWT:

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)

Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.
            Namun, seperti apakah konsep jual beli tersebut yang dibolehkan dan sesuai dengan pandangan Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu melihat batasan-batasan dalam melakukan aktivitas jual beli. Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) menjelaskan perlu adanya kejelasan dari obyek yang akan dijualbelikan. Kejelasan tersebut paling tidak harus memenuhi empat hal.
  1. Mereka menjelaskan tentang lawfulness. Artinya, barang tersebut dibolehkan oleh syariah Islam. Barang tersebut harus benar-benar halal dan jauh dari unsur-unsur yang diharamkan oleh Allah. Tidak boleh menjual barang atau jasa yang haram dan merusak.
  2. Masalah existence. Yaitu Obyek dari barang tersebut harus benar-benar nyata dan bukan tipuan. Barang tersebut memang benar-benar bermanfaat dengan wujud yang tetap.
  3. Delivery. Artinya harus ada kepastian pengiriman dan distribusi yang tepat. Ketepatan waktu menjadi hal yang penting disini.
  4. Precise determination. Yaitu Kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan melekat dengan barang yang akan diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan pada saat promosi dan iklan.

            Dari keempat batasan obyek barang tersebut kemudian kita perlu melihat bagaimanakah konsep kepemilikan suatu produk dalam Islam. Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) juga menjelaskan bahwa konsep kepemilikan barang itu adalah mutlak milik Allah yang terdapat dalam surah Al-Hadid: 7. Semua yang ada di darat, laut, udara, dan seluruh alam semesta adalah kepunyaan Allah. Manusia ditugaskan oleh Allah sebagai khalifah untuk mengelola seluruh harta milik Allah tersebut dan kepemilikan barang-barang yang menyangkut hajat hidup harus dikelola secara kolektif dengan penuh kejujuran dan keadilan.



2.      Hukum Jual Beli

Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma serta Qiyas. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah: 275 “dan Allah menghalalkan jual beli…”

Dan Nabi SAW berabda: “dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya, maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuau yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki.
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
a.       Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1)      Jual beli umum
2)      Jual beli As-Sharf (money changer)
3)      Jual beli muqayadhah

b. Berdasarkan Standardisasi Harga
  1. Jual beli Bargainal (tawar menawar)
2.      Jual beli amanah, dengan dasar ini jual beli terbagi menjadi 4 jenis:
·         Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui
·        Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui
·        Jual beli tauliyah, yitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian
·        Cara pembayaran (jual beli kontan, jual beli nasi’ah, jual beli dengan penyerahan barang tertunda, jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

3. Rukun Jual Beli
1. Penjual dan Pembeli
Syaratnya adalah:
a) Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang gila tidak sah jual belinya.
b) Dengan kehendak sendiri, tidak karena dipaksa atau suka sama suka.
c) Tidak mubazir (pemboros)
d) Balig
2. Uang dan Benda yang dibeli
Syaratnya adalah:
a) Suci,
b) Ada manfaatnya
c) Barang itu dapat diserahkan
d) Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli
3. Lafadz Ijab dan Kabul
            Dalam ijab Kabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, Karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela (ridho), direalisasikan dalam bentuk mengambil dan member atau cara lain yang dapat menunjukkan keridhaan dan berdasarkan makna pemilikkan dan mempermilikkan. Seperti ucapan penjual: aku jual, aku berikan, aku milikkan atau ini menjadi milikmu dan ucapan si pembeli: aku beli, aku ambil, aku terima, aku rela atau ambillah harganya. Akad juga sah dengan bahasa isyarat yang dipahami dari orang bisu. Karena isyarat bagi orang bisu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam jiwanya tak ubahnya ucapan bagi orang yang dapat berbicara. Bagi orang bisu dapat berakad dengan tulisan, sebagai ganti dari bahasa isyarat, ini jika si bisu dapat memahami baca tulis.

4. Khiyar
Khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara, yaitu melangsungkan jual beli atau mengurungkannya. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemashlahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu. Khiyar ada 3 macam, yaitu:

a. Khiyar majelis

Artinya: “Si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli”.

Sabda Rasulullah SAW:

“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Bagi tiap-tiap pihak dari kedua pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian bercerai dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Albaihaqqi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Aku pernah menjual kekayaanku yang ada di Wadi (lembah) dengan Amirulmukminin Utsman yang hartanya ada di Khaibar. Setelah Kami melangsungkan jual beli, Aku keluar mundur ke belakang dari rumahnya, Aku takut kalau-kalau ia mengembalikan jual beli. Menurut sunnah, bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli boleh khiyar sebelum berpisah.
Seperti inilah yang dianut oleh Jumhur sahabat dan tabi’in. Dari kalangan Ulama, Asy-syafi’I dan Ahmad paham ini mereka mengatakan:
Sesungguhnya khiyar majelis itu beralasan baik dalam jual beli, shulh (perjanjian damai), hiwalah (tukar menukar) maupun ijarah (sewa menyewakan), dan semua jenis akad pertukaran yang lazim dalam urusan harta.
Adapun akad lazim yang bukan bermotifkan ganti seperti akad perkawinan dan perceraian, untuk jenis ini khiyar tidak berlaku.

b. Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang di dalamnya syaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp100.000.000,- dengan syarat khiyar selama 3 hari.
Rasulullah SAW bersabda:

“Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam.”( H.R. Baihaqi dan Ibnu Majjah).

            Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari meraka. Tetapi kalau kedua duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pemilik mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk menuruskan jual beli atau tidaknya, hendak lah dengan lafadz yang jelas menunjukkan terus atau tidak nya jual beli.

c. Khiyar ‘Aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda benda yang dibeli, seperti seorang berkata : “ saya beli mobil itu mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan ”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ari ‘Aisyah R.A bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri didekatnya, didapatinya pada budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual itu.
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada ditangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uang nya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi, umpamanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambing nya sudah mati, atau yang dibeli tanah, sedangkann tanah itu sudah diwakafkan nya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang di beli nya ada kecacatan, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.

5. Berselisih Dalam Jual Beli
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, berterus terang, dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah SAW bersabda:

“BERSUMPAH dapat mempercepat lakunya degangan, tetapi dapat menghilangkan barokah” (HR Bukhari Dan Muslim).

           
Para pedagang jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran islam dalam berdagang nya didekatkan dengan para nabi, para sahabat dan orang orang yang mati syahid pada hari kiamat.
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan ialah kata kata yang punya barang, bila antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah SAW bersabda:”Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenakan adalah perkataan yang punya barang atau di batalkan.”(HR Abu Dawud).
6. Lelang (Muzayadah)
Penjualan dengan cara lelang disebut muzayadah. Penjualan seperti ini dibolehkan oleh agama islam, karena dijelaskan dalam keterangan:
“Dari Annas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW. Menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? Seorang laki-laki menyahut: aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu nabi berkata lagi, siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadia.” (HR. Tirmidzi)

7. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
a. Berkaitan dengan objek
  1. Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
  2. Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.
  3. Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual.
b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
  1. Jual beli yang mengandung riba
  2. Jual beli yang mengandung kecurangan.
    Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.

B.   Hutang Piutang (al-Qardh)
1.      Pengertian dan Landasan Hukum

Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman. Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah adalah “sesuatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.”
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai pengertian yakni akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah dan merupakan jenis mu’amalah yang bercorak pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Allah berfirman dalam Al-qur’an

 “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
Rukun dan Syarat al-Qardh
Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
a.       Muqridh (yang memberikan pinjaman).
b.      Muqtaridh (peminjam).
c.       Qardh (barang yang dipinjamkan)
d.      Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
a)      Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
b)      Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
c)      Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
2.      Larangan Meraih Keuntungan (Manfa’at) Melalui Qardh
            Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim, bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau tambahan kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.
            Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal tersebut telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh.
            Fuqaha Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli dan utang piutang saja. Dalam hal utang piutang yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan masyarakat, baru boleh diterima.

C. RIBA

1. Arti Riba
            Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menutur etimologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi
Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahnya

2. Dasar Hukum Keharaman Riba
Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut;

Artinya.
“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(Al- Baqoroh / 2:275)

Riba hanyalah berlaku pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan. Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang tersebut kepada si B)
Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain – lain
Pada ayat ini juga disebutkaan:

Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali imran/3 : 130)

Dalam sebuah hadits dijelaskan konsekuensi kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

Artinya: “Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)

Setiap orang Islam dan mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan, terlebih dahulu wajib mengetahui apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Sesungguhnya Allah telah membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi. Oleh karena itu,, mau tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada kita. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Allah telah mengayidi kata jual beli dengan alat memakrifatkan, yakni اَلْ dan اَلْبَيْعُ Jual beli ini diikat oleh beberapa ikatan – ikatan, syarat, dan rukun yang harus dipelihara semua.
Jadi orang yang hendak jual beli wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak, jelas akan makan riba, mau tidak mau  Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang jujur, besok pada hari kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur dan orang – orang yang mati sahid”.
Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan yaitu berperang melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta memaksa nafsunya untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Jika tidak, maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan Allah kepada orang yang melanggar batas – batas, Kemudian sesungguhnya semua akad, seperti akad ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rohn (gode), wakalah, wadiah, ariah, sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat – syarat dan rukun – rukunnya
Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan ketelitian untuk menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan ketidaksempurnaan syarat dan rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri disetubuhi, maka berarti berzinah)

3.      Macam – Macam Riba

Menurut para ulama, riba ada empat macam:
a. Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW

Artinya:“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata
b. Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah)
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:
Artinya “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)
c. Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:

Artinya: Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d. Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.

Artinya:“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)
4. Sebab – Sebab Diharamkannya Riba
 Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain
a. Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan – angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was – was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
b. Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain
            Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
Haram menjual barang yang belum diterima (oleh si penjual). menjual hewan dengan daging juga haram, hutang ditukar dengan hutang juga haram, begitupula dengan fuduly (si penjual bukan pemilik barangnya dan bukan sebagai wakil), menjual barang yang tidak dapat dilihat atau jual belinya orang yang tidak mukalaf, menjual barang yang tidak ada manfaatnya, menjual barang yang tidak bisa diserahkan, tanpa ijab qobul, menjual barang yang tidak di bawah hak milik seperti tanah mati atau orang merdeka, menjual barang yang samar atau najis, seperti anjing dan menjual barang yang memabukan atau yang diharamkan, semua adalah haram
Haram menjual sesuatu yang halal dan suci kepada orang yang diketahui bahwa sesuatu itu akan digunakan untuk bermaksiat Haram menjual barang yang dapat memabukan dan menjual barang yang cacat tanpa diberitahukan cacatnya
Harta peninggalan mayit tidak sah dibagi – bagikan atau dijual sekalipun hanya sedikit, seperenam dirham misalnya, selagi hutang – hutang simayit belum dilunasi, dan wasiat – wasiatnya harus dipenuhi. Jika belum naik haji, padahal sudah berkewajiban maka harus dipungutlah dulu ongkos untuk haji dan umrah sebelum diwaris, kecuali (boleh dijual) untuk memenuhi hal – hal diatas (untuk hutang – hutang / untuk haji/umrah) Jadi harta peninggalan mayit seperti digadaikan pada hal – hal di atas. Sebagaimana budak yang melukai, juga tidak boleh dijual sebelum dipenuhi hak yang berurusan dengan dirinya, kecuali jika yang memberi hutang (pada sayidnya) telah mengijinkan untuk menjual budak itu.
Haram melakukan (mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan (sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan menawar) Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan orang yang sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan (disimpan) dan akan dijual bila dengan harga yang lebih mahal Haram berpura – pura nawar barang dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi bermaksud membujuk orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal)  Haram memisahkan antara budak perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula menipu atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan atau berdusta
Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli, tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual karena demi hutangnya tersebut Demikian juga umpamanya, memberi hutang kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh, tapi sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah rubtah, ini juga amat haram.
            Haram memberi hutangan kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan muqda








BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
a)      Jual beliadalah saling menukar (menukarkan). Dan kata Al-Bai’ (jual) dan Asy-Syiraa (beli), dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang sau sama lain bertolak belakang. Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (agar tebedakan
b)      Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma serta Qiyas. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah: 275 “dan Allah menghalalkan jual beli…”
c)      Dalam ijab Kabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, Karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela (ridho),
d)      Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman. Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah adalah “sesuatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.”
e)       Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim, bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau tambahan kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.
f)        Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menutur etimologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi

B.     Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengarapkan respon dari para teman – teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca lainnya.
Amin ya robbal a’lamiiin




DAFTAR PUSTAKA
1.      Dr. H. Hendy Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. 2002
2.      H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam. Pada bab kitab muamalah
4.      Lathif, AH. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005.
5.      Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

0 komentar:

Posting Komentar

 

"Hafiez JM" © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers